hidup mulia atau mati syahid
Selasa, 03 Desember 2013
Senin, 02 Desember 2013
Hidup Mulia Atau Mati Syahid
Posted by meisusilo pada 10 Januari 2010
Bismillah ar-Rahman, ar-Rahim
Isy Kariman aw Mut Syahidan.
Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Islam Liberal
dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang
negatif dan menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos,
sebuah harian yang rajin mengekspos ide-ide sekuler dan liberal
menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri untuk
membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar
hingga Kamaruddin Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian
membuat tulisan pesanan tersebut.
Ironisnya, dalam membicarakan hidup mulia
dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun penulisnya yang
merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan
mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali
untuk ‘dipelintir’ maksudnya. Karena hampir seluruh penulisnya aktivis
Islam liberal, maka arah dan kecenderungan tulisannya pun sudah bisa
ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme dan pluralisme serta
menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?
Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?
Isy Kariman aw Mut Syahidan
berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah
dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.
Ungkapan ini pertama kali dikemukakan
oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti Abu Bakar kepada
puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga kontekstual
dan sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma kepada putranya
Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran
sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tiran saat itu pimpinan
Yazid bin Muawiyah.
Ungkapan ini menjadi istimewa karena
diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di dalam Islam
memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan berpendapat
bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa dijadikan rujukan
untuk melakukan amal perbuatan.
Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn”
yakni Wanita Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini
karena membawakan makanan untuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika
hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk
mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.
Sementara itu, Abdullah bin Zubair,
dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang berani dan
selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari beliau
juga dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan ibundanya,
beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid dalam
memperjuangkan Islam.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :
“Apa saja yang terkait dengan rantai
periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya
dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu berupa
perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun pendapat.”
Dalam buku tersebut dijelaskan posisi
Shahabat Rasulullah SAW yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam,
dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran
langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian,
merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu dan mengerti makna Islam
dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak dalil Al Qur’an maupun hadits yang
menjelaskan posisi para Shahabat dalam Islam yang begitu tinggi dan
kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Beberapa ayat
menjelaskan masalah tersebut, di antaranya:
“Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9) : 100)
“Sesungguhnya Allah telah
ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu
di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48) : 18)
Dalam hadits Nabi SAW., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman kepada para Shahabat, di antaranya :
“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi
sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)
“Kalian akan senantiasa dalam
kebaikan selama di antara kalian masih ada orang yang pernah melihatku
dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa dalam
kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan
bersahabat denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)
“Bintang-bintang adalah
penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan datang
bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga
para Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para
Shahabatku apa yang dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para penjaga
ummatku, apabila para Shahabatku meninggal, maka akan datang bagi
ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)
Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah
(argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam
dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.
Makna Hidup Mulia Dalam Islam
Secara fitrah, setiap manusia pasti
mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap harinya mereka
selalu berdoa kepada Allah SWT., agar diberikan kehidupan mulia di
dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup mulia dalam Islam hanya bisa
tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh Allah SWT bisa
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut
adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)
Dua fungsi dan esensi hidup mulia dalam
pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam kehidupan
sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan
mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat
tidak hanya kepada orang Muslim, melainkan kepada seluruh alam,
sebagaimana firmanNya :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:
Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW.,
sebagai rahmat bagi semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat
bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat ini,
niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan
barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi dunia
dan akhirat.
Maka dapat difahami bahwa hidup mulia
dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika Risalah Islam beserta
syariat Islam diterima, diyakini dan diamalkan oleh manusia sebagai
pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak
hanya akan tercapai di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau
kemuliaan juga akan melingkupi seluruh alam semesta. Untuk tujuan
inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan, sehingga
kalaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengupayakannya
dan tetap yakin bahwa Allah SWT suatu saat pasti akan memberikan hal
tersebut kepada hamba-hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Allah Telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka
tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)
Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?
Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin telah
maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di akhiratlah
yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan semaksimal mungkin
pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah).
Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan seseorang
adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui kematian dengan
buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).
Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba
benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka padahal sesungguhnya
ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga padahal ia
termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung
penutupannya.” (HR. Bukhari)
Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :
‘Islam mendorong kaum Muslimin untuk
berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk terjun ke kancah
kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat
Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi
memperoleh ridha Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong
maut dengan lapang dada, hati tegar, dan jiwa yang tenang lantaran
menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah telah membesarkan
ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan
anugerah di dalamnya.’
Beliau di dalam bukunya juga menjelaskan
bahwa Allah SWT telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang
mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian maqom,
dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah
yang lain bahkan lewat shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk
ibadah dan qurobah (pendekatan diri kepada Allah yang lain).
Dengan penjelasan ini, tidak heran mengapa mati syahid menjadi kematian
yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam
dan menjadi dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami
permasalahan tersebut.
Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :
“Penutup para nabi dan rasul,
Muhammad SAW., mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan dan renungkan
kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baiknya manusia
ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.
Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa
berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu
aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh.
(Al Hadits)
Hidup yang lama dan panjang ini
diringkas oleh Nabi SAW dengan petunjuk Allah SWT., dalam sabda Beliau
di atas. Beliau sangat menginginkan kedudukan ini Orang yang bahagia
adalah orang yang telah dipilih oleh Allah SWT sebagai seorang syahid.”
Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
Barangsiapa memohon mati
syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke
derajat para syuhada’ meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Is-haq, dari Al
Barro’, ia berkata: Seseorang dari Bani An Nabit dari kalangan anshar
datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah
(sesembahan yang benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba
dan utusan-Nya. Kemudian ia maju dan berperang sampai terbunuh. Maka
Nabi SAW., bersabda :
Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dengan demikian, dalam pandangan Islam
sesungguhnya keberhasilan yang paling utama dan anugrah yang paling baik
yang didapatkan oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya untuk
mati syahid.
Nabi SAW bersabda kepada seorang sahabat yang berdo’a kepada Allah dengan mengucapkan:
Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hamba-Mu yang sholih.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:
Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.
Maka Mut Syahidan atau mati syahid atau
mati sebagai seorang syuhada (orang yang berjihad di jalan Allah SWT)
adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih
kecuali oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan :
“Dikatakan, “Wahai
Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ?
Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka
mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian
tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid
fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat malam dan
membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan sholat
sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak ada seseorang yang
telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia ingin
kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang
mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk
dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati
syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: lantaran
kemuliaan yang ia lihat.
Khatimah
Jadi tidak ada yang salah dengan mati
syahid. Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang sia-sia, terhina,
harus ditangisi, dilecehkan dan ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena
mati syahid, mati ketika memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi
sabilillah, adalah sebuah kematian yang sangat tinggi dan mulia
kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan diraih
kecuali oleh orang-orang yang memang dipilih oleh Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh dan
teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang
mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa
mencapainya. Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak terbantahkan?
Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga
bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta lantas lupa kepada Sang
Pencitpa, Allah SWT, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup
pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah
ketundukan total seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan
juga sebagai khalifahNya.
Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaafah
(totalitas) sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan
rahmat, orang non Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam
semesta. Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat
meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan
tegaknya syariat Islam di muka bumi.
Dengan demikian, betapa indah dan
bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah
diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi populer kembali, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan.
Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang sangat
didambakan oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari
keduanya, Insya Allah…! Arrahmah
Langganan:
Postingan (Atom)